Indonesia, Memetik Hikmah dari Krisis Yunani


“Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti jatuh juga”, mungkin pepatah tersebut cocok dikatakan untuk Yunani. Di zaman modern ini mereka masih menganggap ‘dewa-dewi’  masih menaungi mereka, sehingga dengan pongahnya Yunani  mencoba membohongi dunia!

Yunani, sebuah negara elok dengan sejarah panjang yang penuh intrik, bahkan sampai detik ini. 15 November  2004  lalu, Pemerintah Yunani  telah mengakui bahwa sesungguhnya mereka tidak memenuhi kualifikasi untuk bergabung dengan zona euro di tahun 1981. Data revisi anggaran mereka menunjukkan bahwa defisit Yunani tidak pernah berada dibawah 3 persen sejak tahun 1999. Kebohongan itu dilakukan agar keinginan mereka bergabung dengan Uni Eropa diterima dengan tangan terbuka. Perjuangan Yunani mendapatkan keanggotaan Uni Eropa memang tidak sebentar. Sebelumnya mereka sudah berupaya untuk melamar menjadi anggota zona euro, namun baru direstui sebatas associate member di tahun 1962.

Penolakan masyarakat Eropa terhadap Yunani sebenarnya cukup berdasar. Selain kriteria wilayah yang terletak di benua Eropa, Yunani tidak memenuhi kriteria lainnya, yaitu stabilitas ekonomi dan politik. Hal ini diperparah dengan perebutan kekuasaan pemerintahan demokratis oleh junta militer di tahun 1967. Kemudian di tahun 1974 terjadi lagi penggulingan junta militer oleh pemerintahan sosialis.  Hingga akhirnya, lewat  berbagai upaya diplomasi Yunani berhasil bergabung dengan masyarakat uni eropa di tahun 1981.

Perjuangan mati-matian ini bukannya tanpa maksud. Yunani mengira dengan bergabungnya mereka dalam masyarakat Eropa, maka perekonomian mereka pun akan terimbas kemapanan negara anggota lainnya. Terbukti pada periode 2000-2007 Yunani berhasil menjadi negara anggota uni eropa dengan pertumbuhan tertinggi. Diperkirakan rata-rata pertumbuhan Yunani pada periode ini adalah 4,3 persen per tahun.  Dimana selama masa tersebut Yunani dibanjiri modal asing sebagai motor perekonomiannya. 

Namun semua berbalik saat tahun 2008, saat negara-negara disekitarnya bangkit dari resesi. Sektor dominan Yunani, yaitu sektor pariwisata dan perkapalan  malah anjlok hingga 15 persen. Kondisi ini tentunya membuat dunia mengernyitkan kening. Disaat perekonomian cukup kondusif, mengapa Yunani malah terpuruk. Dan gejala sesungguhnya semakin nyata saat Yunani membayar utang pada bank-bank investasi di tahun 2010. Terkuak bukti yang menunjukkan bahwa Yunani ‘mengotak-atik’ data statistik ekonomi makronya dan tujuan semua itu adalah penggelapan pajak. Saat itu terpapar juga data bahwa sesungguhnya Yunani mengalami defisit hingga mencapai 13,6 persen dan menderita kerugian sebesar 20 miliar dollar AS per tahun akibat penggelapan pajak.

Yunani akhirnya mengibarkan bendera putih dan meminta bantuan uni eropa untuk membantu krisis negaranya. Sayang dampak dari krisis Yunani ini juga menghantam cukup signifikan bagi negara-negara uni eropa. Sehingga upaya bantuan bagi Yunani bukanlah hal yang mudah diberikan oleh Uni Eropa. Bahkan negara dengan ekonomi mapan seperti Jerman pun  'tergoyang' oleh  krisis Yunani. Karena itu Kanselir Merkel, memperlakukan Yunani dengan cukup tegas dan memaksa untuk  melakukan tight money policy dan  efficiency.  Parlemen Yunani secara ‘terpaksa’ harus menyetujui RUU penghematan demi mendapat dana talangan dari Uni Eropa dan Dana Moneter Internasional (IMF). 

Memang langkah penghematan bukanlah langkah yang mudah karena Yunani membutuhkan dana internasional sebelum bulan Maret 2012 untuk memenuhi pembayaran utang. Jika tidak akan menderita kekacauan yang dapat mengguncang zona Eropa secara keseluruhan. Dana talangan itu tidak gratis, tetapi harus dibayar dengan pengetatan anggaran pemerintah dengan pemangkasan gaji dan pengurangan jumlah pegawai. Pengetatan ini dapat dipastikan akan membawa dampak sosial-ekonomi,  dan  jelas rakyat lah yang akan menderita.

Pelajaran Bagi Indonesia
Banyak pujian yang dilayangkan bagi perekonomian Indonesia. Di saat ekonomi dunia gonjang-ganjing atas berbagai krisis, seperti krisis ‘subprime mortgage AS’, krisis Yunani, krisis Eropa dan sekarang krisis Siprus, Indonesia mampu melanggang dengan santai diatas pertumbuhan positif. 

Indikator makro Indonesia menunjukan data yang ‘manis’: inflasi tahunan terjaga pada kisaran 3-4 persen, kurs rupiah stabil, bahkan pertumbuhan mencapai angka diatas 6 persen.

Tapi jika mau memetik pelajaran dari Yunani, sebaiknya kita berhati-hati. Bagaimanapun bukan rahasia lagi bahwa tingkat korupsi di Indonesia masih sangat tinggi. Investasi yang masuk dan menggerakkan  perekonomian saat ini bisa menjadi bumerang, sama halnya dengan Yunani. Modal yang seharusnya diputar untuk mendapatkan nilai tambah dan menggenjot GDP malah di bagi-bagi pada pemegang kue ekonomi teratas, untuk kemudian di gelapkan atau malah dibawa kabur keluar negeri.

Kalau mau dicermati, daya tahan ekonomi Indonesia terhadap guncangan ekonomi dunia disebabkan daya konsumerisme Indonesia yang tinggi. Tidak bisa dipungkiri Indonesia merupakan pasar terbesar di Asia Tenggara,  karena jumlah penduduknya yang banyak. Lebih dari 100 juta jiwa kelas menengah dari total 238 juta jiwa penduduk Indonesia siap membelanjakan uang untuk berbagai kebutuhan. Karena faktor itu pula, Indonesia  mendapat stempel layak investasi dari dua lembaga peringkat: Fitch Ratings dan Moody's Investor Service. Indikasi ini dapat dilihat dari penawaran Surat Utang Negara (SUN) yang deras, yang pada bulan Januari 2012 total mencapai nilai 50,13 triliun rupiah.

Pengakuan dunia internasional membuat Indonesia memasuki era investasi yang baik. Swasta maupun pemerintah bisa bersama-sama  bergerak dalam memanfaatkan aliran dana masuk. Apalagi didukung dengan kebijakan suku bunga rendah. Sayangnya kondisi ini juga mengundang  masalah jika tidak dijalankan dengan bijak. Bukankah krisis AS pun dikarenakan daya tarik suku bunga rendah?

Salah satu kelemahan dalam memanfaatkan momentum ekonomi  ini adalah kualitas penyerapan anggaran belanja modal yang rendah. Selama lima tahun terakhir, penyerapan anggaran belanja modal tidak pernah mencapai 80 persen. Pada tahun 2011, penyerapan hanya 77,78 persen. Pemerintah diharapkan tidak menggali lubang yang akan membebani negara, seperti halnya Yunani. Pemerintah harus memperkecil defisit anggarannya dengan melakukan kebijakan pengetatan ekonomi. Dengan catatan, pemerintah diharapkan mampu mencari solusi agar pengetatan itu tidak mengorbankan rakyat seperti di Yunani.

Pada dasarnya berutang bukanlah ‘dosa’ dalam kegiatan ekonomi. Bagaimana pun negara memerlukan modal untuk menciptakan nilai tambah. Sehingga seharusnya utang tersebut dimanfaatkan untuk pembentukan modal dan aset, bukan dikonsumsi sebagai barang akhir, apalagi ‘ditilep’ oleh para koruptor. Pemerintah juga harus meningkatkan  proteksi atas barang impor agar produktivitas domestik meningkat dan terserap.

Pemerintah Indonesia HARUS benar-benar memberantas korupsi. Korupsi hanya menguntungkan segelintir orang, namun penderitaannya dirasakan umat manusia se-dunia.

Last but not least:
Jangan sampai Indonesia terjebak seperti Yunani yang  asyik mengotak-atik angka statistik ekonomi makro agar tampak indah. Semua pihak harus mengambil peran dalam hal ini. Pemerintah melakukan kewenangannya dalam meregulasi pelaku ekonomi tanpa menciptakan conflict of interest. Pelaku ekonomi bersedia memberikan laporan keuangannya dengan terbuka dan jujur. Statistisi melakukan pencatatan secara akurat, dan analis melakukan analisis secara objektif dan bertanggung jawab. 

Bila diawal saya mulai dengan pepatah, maka saya akan mengakhirinya dengan pepatah pula;

Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh”

Mari kita songsong masa kedigjayaan ekonomi Indonesia 2025!

Marisa Wajdi for 'Analisis Lintas Sektor"

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.