Harmonisasi Konsep Sektor Informal

Oleh: Monika

Pagi itu, saya sedang menjelaskan tentang mega cities atau Kota-kota besar di dunia.  Mega cities adalah kota dengan populasi lebih dari sepuluh juta jiwa Dari mega cities ini, disebutkan bahwa salah satu dampak dari adanya mega cities adalah timbulnya sektor informal. Jadi, besarnya populasi ini disebabkan oleh adanya urbanisasi dan migrasi yang terjadi karena para migran sengaja datang ke kota untuk bekerja. Namun, karena para migran ini tidak dapat bekerja pada pekerjaan yang diinginkannya (biasanya sektor formal), maka mereka memilih bekerja di sektor informal.

Nah, pertanyaan selanjutnya adalah apa sih yang disebut dengan sektor informal?

Menurut Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, sektor informal adalah semua bisnis komersial dan non komersial yang tidak terdaftar, tidak memiliki struktur organisasi formal dan memiliki ciri-ciri : dimiliki oleh keluarga, kegiatannya berskala kecil, padat karya, menggunakan teknologi yang diadaptasi dan bergantung pada sumber daya lokal. 

Sedangkan menurut Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan No. 13/2003, pekerja informal mengacu pada orang yang bekerja tahap relasi kerja, yang berarti tidak ada perjanjian yang mengatur elemen-elemen kerja, upah dan kekuasaan.

Sementara itu, definisi sektor informal menurut BPS adalah kegiatan ekonomi yang umumnya dilakukan secara tradisional oleh organisasi bertingkat rendah ataupun yang tidak memiliki struktur, tidak ada akun transaksi (transaction accounts) dan ketika terdapat relasi kerja biasanya bersifat musiman, pertemanan atau relasi personal, tanpa perjanjian kontrak. BPS melalui data Sakernas, memberikan kategori status pekerja dalam tujuh kategori, yaitu (1) berusaha sendiri, (2) berusaha sendiri dengan bantuan keluarga atau anggota keluarga dengan tidak dibayar, (3) berusaha dengan pekerja tetap atau pekerja diupah, (4) karyawan/staf/pekerja, (5) pekerja musiman di bidang pertanian, (6) pekerja musiman di bidan non pertanian dan (7) pekerja tidak dibayar. Kategori ketiga dan keempat baisanya mengacu pada tenaga kerja di sektor formal, selebihnya adalah sektor informal.

Sebenarnya, pada tahun 1993, The Fifth International Conference of Labour Statisticians (15th  ICLS) mengadopsi definisi statistik internasional sektor informal untuk dimasukkan dalam Sistem Neraca Nasional (SNA 1993). The 15th ICLS mendefinisikan sektor informal dalam hal karakteristik perusahaan (unit produksi) di mana kegiatan berlangsung, bukan dari segi karakteristik dari orang-orang yang terlibat atau pekerjaan mereka. Dengan demikian, orang-orang yang bekerja di sektor informal didefinisikan sebagai semua orang yang selama periode referensi bekerja dalam setidaknya satu unit produksi dari sektor informal, terlepas dari status mereka dalam pekerjaan tersebut, apakah itu perkerjaan utama atau sekunder. Unit produksi dari sektor informal merupakan bagian dari usaha rumah tangga yang dimiliki rumah tangga. Dengan demikian, unit produksi sektor informal itu tidak memiliki set neraca (laporan keuangan) yang lengkap

Menurut Todaro (1998) karakteristik sektor informal sangat bervariasi dalam bidang kegiatan produksi barang dan jasa berskala kecil, unit produksi yang dimiliki secara perorangan/kelompok, banyak menggunakan tenaga kerja (padat karya), dan teknologi yang dipakai relatif sederhana, para pekerjanya sendiri biasanya tidak memiliki pendidikan formal, umumnya tidak memiliki keterampilan dan modal kerja. Oleh sebab itu produktivitas dan pendapatan mereka cenderung rendah dibandingkan dengan kegiatan bisnis yang dilakukan di sektor formal. Pendapatan tenaga kerja informal bukan berupa upah yang diterima tetap setiap bulannya, seperti halnya tenaga kerja formal. Upah pada sektor formal diintervensi pemerintah melalui peraturan Upah Minimum Propinsi (UMP). Tetapi penghasilan pekerja informal lepas dari campur tangan pemerintah.

Keith Hart, seorang profesor ekonomi antropologi dari Inggris, memberikan kontribusinya terhadap sektor informal. Hart membagi orang yang bekerja di perkotaan menjadi tiga kelompok, yaitu formal, informal sah dan informal tidak sah. Masing-masing kelompok dibedakan menurut kegiatan yang dilakukan individu, jumlah pendapatan serta kontribusi pengeluarannya. Kegiatan kelompok informal dicirikan oleh: pendidikan formal yang rendah, modal usaha kecil, upah rendah, dan usahanya berskala kecil.

Beberapa ciri baku kegiatan sektor informal menurut ILO ada 6 : (1) seluruh aktivitasnya bersandar pada sumberdaya sekitar; (2) skala usahanya relatif kecil dan merupakan usaha keluarga; (3) aktivitasnya ditopang oleh teknologi tepat guna dan bersifat padat kary a; (4) tenaga kerjanya terdidik atau terlatih dalam pola-pola tidak resmi; (5) seluruh aktivitasnya berada di luar jalur yang diatur pemerintah; (6) aktivitasnya bergerak dalam pasar sangat bersaing.

Masih banyak definisi sektor informal lainnya dari berbagai organisasi dan instansi. Yang jelas, semua definisi tersebut bermuara pada dua hal, yaitu dari tenaga kerja dan usaha. Penggunaan definisi sektor informal itu tergantung pada tujuan penggunaan datanya. Oleh karena itu, perlu dicermati lebih lanjut sebelum menggunakan definisi sektor informal ini.

Jadi, di sesi itu pun saya memilih pendefinisian sektor informal dilihat dari dua hal ini yaitu tenaga kerja dan usaha. Mudah-mudahan apa yang disampaikan bisa dimengerti dengan baik.


Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.