Analisis Keterkaitan Kemiskinan Dengan Indikator Makro Lainnya Di Wilayah Kabupaten Bogor (Bagian 1)
Oleh : Ujang Jaelani & Tim Penyusun Indikator Ekonomi Kabupaten Bogor
LATAR BELAKANG
Masalah kemiskinan
merupakan salah satu permasalahan dalam proses pembangunan ekonomi. Hampir
setiap Negara mengalami perrmasalahan kemiskinan, baik negara maju maupun
negara berkembang. Kemiskinan menjadi isu dunia yang banyak diminati oleh para
peneliti karena jumlahnya yang besar dan dampak yang ditimbulkannya sangat
buruk bagi kehidupan masyarakat. World
Bank (2004) melaporkan bahwa seperempat penduduk dunia dewasa ini tergolong
miskin. Kemiskinan di Indonesia jika dihitung berdasarkan standar hidup minimum
dengan pengeluaran per kapita per hari US$ 2, maka penduduk yang tergolong
miskin mencapai 59,99 persen (World Bank, 2007).
Menurut Yudhoyono dan Harniati (2007), kemiskinan mempunyai dampak menurunkan
kualitas hidup, menimbulkan beban sosial ekonomi masyarakat, menurunkan
kualitas sumberdaya manusia, dan menurunkan ketertiban umum.
Strategi
penurunan kemiskinan pada masa pemerintahan orde baru, lebih ditekankan pada
pembangunan ekonomi yang mengutamakan tingginya angka pertumbuhan ekonomi. Ini
dikarenakan keyakinan para pembuat kebijakan dan perencana pembangunan akan
adanya trickle down effect (Tambunan 2003). Pertumbuhan ekonomi
diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua kalangan masyarakat, terutama
masyarakat miskin melalui penciptaan lapangan kerja. Lapangan kerja yang lebih
banyak dapat memperluas kesempatan kerja bagi penduduk miskin, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraannya dan mampu
keluar dari kemiskinan.
Fakta memperlihatkan
bahwa trickle down effect yang diinginkan tidak tercapai. Pertumbuhan
ekonomi yang tinggi tidak diikuti oleh ketersediaan kesempatan kerja yang
memadai,
sehingga tingkat kemiskinan sulit turun. Mempertimbangkan keadaan ini maka
strategi pembangunan mulai diubah, tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi
yang tinggi,
akan tetapi juga berorientasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat (Tambunan
2006).
Rakyat yang
sejahtera bisa tercapai,
jika pembangunan ekonomi memperhatikan semua golongan masyarakat, terutama
golongan masyarakat miskin. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin, maka beberapa
program penanggulangan kemiskinan diimplementasikan pemerintah dengan cara
memenuhi hak-hak dasar warga negara secara layak, meningkatkan kesejahteraan
sosial ekonomi masyarakat miskin, penguatan kelembagaan sosial ekonomi
masyarakat,
serta melaksanakan percepatan pembangunan daerah tertinggal.
Berbagai kritik
terhadap program penanggulangan kemiskinan menunjukkan bahwa beberapa aspek
perlu diperhatikan dalam menanggulangi kemiskinan di setiap kawasan.
Aspek-aspek tersebut mencakup aspek sosial, ekonomi, budaya, politik serta
aspek waktu dan ruang. Faktor-faktor penyebab kemiskinan perlu terlebih dahulu
diperhatikan agar kebijakan penanggulangan kemiskinan sesuai dengan kondisi
wilayah dan masyarakat di setiap wilayah.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMISKINAN
1.
Jumlah Penduduk
Sumber daya manusia merupakan faktor penting dalam pertumbuhan
ekonomi, namun tidak semata-mata tergantung dari jumlah penduduknya saja,
tetapi lebih ditekankan pada efisiensi dan produktivitas dari penduduk
tersebut. Jumlah penduduk yang terlalu banyak atau kepadatan penduduk yang
terlalu tinggi akan menjadi penghambat pembangunan ekonomi di negara
berkembang. Pendapatan per kapita yang rendah dan tingkat pembentukan modal
yang rendah semakin sulit bagi negara berkembang untuk menopang ledakan jumlah
penduduk. Sekalipun output meningkat
sebagai hasil teknologi yang lebih baik dan pembentukan modal, peningkatan ini
akan ditelan oleh jumlah penduduk yang terlalu banyak. Alhasil, tidak ada
perbaikan dalam laju pertumbuhan nyata perekonomian (Jhingan, 2003)
Pada
tahun 2008 Jhingan mengemukakan pengaruh buruk pertumbuhan penduduk yang tinggi
terhadap perekonomian yang dalam hal ini pendapatan per kapita. Pertumbuhan
penduduk cenderung memperlambat pendapatan per kapita melalui tiga cara, yaitu:
1) memperberat beban penduduk pada lahan; 2) menaikkan barang konsumsi karena
kekurangan faktor pendukung untuk menaikkan penawaran mereka; 3) memerosotkan
akumulasi modal, karena dengan tambah anggota keluarga, biaya meningkat.
Kondisi ini akan semakin parah apabila persentase anak-anak pada keseluruhan
penduduk tinggi, karena anak-anak hanya menghabiskan dan tidak menambah produk,
dan jumlah anak yang menjadi tanggungan keluarga lebih besar daripada jumlah
mereka yang menghasilkan, sehingga pendapatan per kapita menjadi rendah.
Siregar dan Wahyuniarti (2007) dalam penelitiannya “ Dampak Pertumbuhan Ekonomi
terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin” menghasilkan temuan bahwa
peningkatan jumlah populasi penduduk sebesar 1000 orang akan meningkatkan
jumlah penduduk miskin sebanyak 249 orang. Penemuan yang sama diperoleh Suparno
(2010) yang menunjukkan bahwa peningkatan jumlah penduduk terbukti meningkatkan
jumlah kemiskinan di Indonesia.
2. Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB)
Pro
poor growth menurut Kakwani, et al. (2004) yaitu pertumbuhan
ekonomi yang lebih memberikan keuntungan atau manfaat bagi penduduk miskin dan
memberikan kesempatan untuk memperbaiki keadaan ekonominya. Jika ini terjadi
maka akan berdampak semakin banyak penduduk miskin yang mengalami peningkatan
pendapatan dan mampu keluar dari kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang pro
poor akan terwujud jika pertumbuhan ekonomi lebih banyak dihasilkan dari
partisipasi ekonomi penduduk miskin. Hal ini berdampak pada tingkat kemiskinan
yang semakin mengecil.
Beberapa
pendapat mengenai keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan pengurangan
kemiskinan seperti diuraikan Todaro dan Smith (2006). Pendapat pertama,
pertumbuhan yang cepat berakibat buruk pada kaum miskin. Hal ini terjadi
karena kaum miskin akan tergilas dan terpinggirkan oleh perubahan struktural
pertumbuhan modern. Pendapat kedua, di kalangan pembuat kebijakan,
pengeluaran publik yang digunakan untuk menanggulangi kemiskinan akan
mengurangi dana yang dapat digunakan untuk untuk mempercepat pertumbuhan.
Pendapat ketiga, kebijakan untuk mengurangi kemiskinan bukan
memperlambat laju pertumbuhan, dengan argumen sebagai berikut:
1. Kemiskinan membuat kaum miskin tidak punya akses terhadap
sumber daya, menyekolahkan anaknya, tidak punya peluang berinvestasi sehingga
akan memperlambat pertumbuhan perkapita.
2. Data empiris menunjukkan kaum kaya di negara miskin tidak mau
menabung dan berinvestasi di negara mereka sendiri.
3. Kaum miskin memiliki standar hidup seperti kesehatan, gizi
dan pendidikan yang rendah sehingga menurunkan tingkat produktivitas.
4. Peningkatan pendapatan kaum miskin akan mendorong kenaikan
permintaan produk lokal, sementara golongan kaya cenderung mengkonsumsi barang
impor.
5. Penurunan kemiskinan secara masal akan menciptakan stabilitas
sosial dan memperluas partisipasi publik dalam proses pertumbuhan.
Berbagai
kebijakan pembangunan ekonomi seharusnya diterapkan dengan mempertimbangkan
kepentingan seluruh elemen masyarakat, agar seluruh elemen masyarakat dapat
berperan aktif dalam proses pertumbuhan ekonomi termasuk penduduk miskin.
Peningkatan peran serta penduduk miskin dapat dilakukan dengan lebih
memberdayakan penduduk miskin melalui perbaikan sumber daya manusia (pendidikan
dan kesehatan) dan peningkatan akses terhadap sumber daya faktor produksi.
3.
Tingkat Pendidikan
Pendidikan
berfungsi sebagai driving force atau daya penggerak transformasi
masyarakat untuk memutus rantai kemiskinan. Pendidikan membantu menurunkan
kemiskinan melalui efeknya pada produktivitas tenaga kerja dan melalui jalur
manfaat sosial, maka pendidikan merupakan sebuah tujuan pembangunan yang
penting bagi bangsa (World Bank, 2005). Pendidikan sebagai sarana untuk memperoleh wawasan,
ilmu pengetahuan dan keterampilan agar peluang kerja lebih terbuka dan upah
yang didapat juga lebih tinggi. Rahman (2006) menemukan adanya hubungan positif
antara tingkat pendidikan dengan upah/gaji yang diterima oleh pekerja.
Menurut
teori pertumbuhan endogen yang
dipelopori oleh Lucas dan Romer (1996), pendidikan merupakan salah satu faktor
pendorong pertumbuhan ekonomi. Pendidikan menjadi sarana untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia yang
nantinya menghasilkan tenaga kerja yang lebih produktif. Tenaga kerja yang
mempunyai produktivitas tinggi akan menghasilkan output yang lebih banyak sehingga secara agregat akan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi.
Andersson
et.al (2005) dalam penelitiannya yang berjudul Determinants of
Poverty in Lao PDR menyatakan bahwa pendidikan seseorang sebagai salah satu
determinan konsumsi per kapita. Suparno (2010) menemukan bahwa rata-rata lama
sekolah yang menunjukkan tingkat pendidikan masyarakat mampu menurunkan tingkat
kemiskinan di Indonesia. Masyarakat yang berpendidikan tinggi akan mempunyai
keterampilan dan keahlian, sehingga dapat meningkatkan produktivitasnya.
Peningkatan produktivitas akan meningkatkan output
perusahaan, peningkatan upah pekerja, peningkatan daya beli masyarakat sehingga
akan mengurangi kemiskinan.
4.
Pengangguran
Pengangguran
adalah seseorang yang tergolong angkatan kerja dan ingin mendapat pekerjaan
tetapi belum dapat memperolehnya. Menurut The
National Anti-Poverty Strategy (NAPS,1999), berdasarkan penelitian yang telah dilakukannya di Ireland
menyatakan bahwa pengangguran merupakan penyebab terbesar terjadinya
kemiskinan. Keterkaitan antara pengangguran dengan kemiskinan sangat kuat. Pada
tahun 1994, lebih dari setengah dari total keluarga di Ireland dipimpin oleh
kepala keluarga yang tidak mempunyai pekerjaan.
Sukirno (2004),
menyatakan bahwa efek buruk dari pengangguran adalah berkurangnya tingkat
pendapatan masyarakat yang pada akhirnya mengurangi tingkat kemakmuran/kesejahteraan.
Kesejahteraan masyarakat yang turun karena menganggur akan meningkatkan peluang
mereka terjebak dalam kemiskinan karena tidak memiliki pendapatan. Apabila
pengangguran di suatu negara sangat buruk, maka akan timbul kekacauan politik dan
sosial dan mempunyai efek yang buruk pada kesejahteraan masyarakat serta prospek
pembangunan ekonomi dalam jangka panjang. Suparno (2010) menemukan bahwa
banyaknya pengangguran akan berdampak pada peningkatan kemiskinan di Indonesia.
HASIL ANALISIS
Hasil Analisis Granger Causality
Untuk melihat hubungan antara kemiskinan, PDRB, jumlah
penduduk, tingkat pendidikan dan pengangguran dilakukan uji kausalitas Granger.
Uji ini dilakukan dengan mengamati perilaku siklikal kelima komponen tersebut
dalam suatu periode tertentu. Hasil dari uji kausalitas tersebut disajikan di
dalam Gambar di bawah ini dengan tiga lag waktu yaitu lag 1,2 dan 3 atau
tahun pertama, kedua dan ketiga.
Hasil Uji Kausalitas Granger
Pertumbuhan ekonomi akan mempengaruhi pertumbuhan penduduk pada tahun
berikutnya dengan tingkat kesalahan 10 %, namun tidak berlaku sebaliknya.
Pertumbuhan penduduk ini akhirnya akan mempengaruhi kemiskinan. Pengaruh
pertumbuhan penduduk terhadap kemiskinan ini akan terasa pada tahun berikutnya
hingga dua tahun kemudian. Kemiskinan ini akan mempengaruhi tingkat
pengangguran pada tahun ketiga. Sebaliknya, pengangguran akan menyebabkan
kemiskinan pada tahun kedua. Pengangguran juga akan menyebabkan berkurangnya
akses terhadap pendidikan sehingga mempengaruhi rata-rata lama sekolah baik
pada tahun pertama maupun kedua. Pendidikan juga akan mempengaruhi pertumbuhan
penduduk pada tahun kedua. Selain itu, pendidikan akan menyebabkan pertumbuhan
ekonomi pada tahun pertama dan ketiga.
Analisis Granger causality hanya
melihat ada tidaknya hubungan sebab akibat antara dua variabel. Adapun besar
kecilnya hubungan antara variabel belum dapat dijelaskan dalam Granger causality. Analisis data panel
dapat menjawab seberapa besar hubungan antara beberapa variabel.
Hasil Analisis Data Panel
Analisis data panel digunakan untuk mengetahui faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap kemiskinan. Model
regresi panel pertama yang digunakan
dalam penelitian adalah sebagai berikut:
Keterangan
:
MISKINit = jumlah
Penduduk Miskin di kabupaten i tahun t.
PENDUDUKit =
jumlah penduduk di kabupaten i tahun t.
PDRBit = PDRB di kabupaten i tahun t.
RLSit = rata-rata lama sekolah di kabupaten i tahun t
PENGANGGURANit =
jumlah pengangguran di kabupaten i tahun t.
βj = parameter yang diestimasi, j = 0, 1, 2, 3, 4.
αi = efek individu kabupaten i
µt = efek waktu tahun t
ui = komponen error.
Pengaruh Pertumbuhan Penduduk, Pertumbuhan Ekonomi, Pendidikan dan Pengangguran
terhadap Pengentasan Kemiskinan
Variable
|
Coefficient
|
Std. Error
|
t-Statistic
|
Prob.
|
(1)
|
(2)
|
(3)
|
(4)
|
(5)
|
C
|
-20.98648
|
6.684282
|
-3.139676
|
0.0040
|
1. Penduduk
|
4.089762
|
0.835343
|
4.895907
|
0.0000
|
2. PDRB
|
-1.289988
|
0.433259
|
-2.977407
|
0.0059
|
3. RLS
|
-2.421340
|
0.728541
|
-3.323545
|
0.0025
|
4. Pengangguran
|
0.011814
|
0.057945
|
0.203889
|
0.8399
|
R-squared
|
0.991597
|
|||
Adjusted R-squared
|
0.988296
|
|||
F-statistic
|
300.3689
|
|||
Prob(F-statistic)
|
0.000000
|
Sumber : Output Hasil Analisis Regresi Data Panel
Penduduk
Peningkatan
perekonomian dan penanggulangan kemiskinan tidak terlepas dari peran penduduk.
Nilai elastisitas jumlah penduduk di Kabupaten Bogor sebesar 4,09. Hal
ini mempunyai arti, setiap
kenaikan 1 persen jumlah penduduk, maka akan
meningkatkan jumlah penduduk miskin sebesar 4,09 persen, ceteris paribus.
Hasil estimasi ini sesuai dengan hipotesis selama ini bahwa
pertumbuhan jumlah penduduk memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan
jumlah penduduk miskin. Pertumbuhan penduduk di Kabupaten Bogor
dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk alami (kelahiran dan kematian) dan secara
signifikan juga oleh migrasi masuk. Menurut hasil SP2010, dari tahun 2000 sampai
tahun 2010 terjadi penambahan jumlah penduduk Kabupaten Bogor sebesar 1.263.106
jiwa.
Pada tahun 2010 terdapat sekitar 22,28 persen (1.062.951 jiwa) dari jumlah
penduduk Kabupaten Bogor sebesar 4.771,932 jiwa merupakan migran seumur hidup
(tempat lahir berbeda dengan saat sensus)
Pada
tahun 2008, Jhingan mengemukakan pengaruh buruk pertumbuhan penduduk yang
tinggi terhadap perekonomian (pendapatan per
kapita). Pertumbuhan penduduk
cenderung memperlambat pendapatan per kapita melalui tiga cara, yaitu:
1. Memperberat
beban penduduk pada lahan
2. Menaikkan
barang konsumsi karena kekurangan faktor pendukung untuk menaikkan penawaran
mereka
3. Memerosotkan
akumulasi modal, karena dengan tambah anggota keluarga, biaya meningkat.
Kondisi ini akan semakin parah apabila persentase anak-anak pada keseluruhan
penduduk tinggi, karena anak-anak hanya menghabiskan dan tidak menambah produk,
dan jumlah anak yang menjadi tanggungan keluarga lebih besar daripada jumlah
mereka yang menghasilkan, sehingga pendapatan per kapita menjadi rendah.
Nilai
elastisitas jumlah penduduk menunjukkan angka terbesar jika dibandingkan dengan
variabel bebas lainnya. Ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan jumlah penduduk
di wilayah Kabupaten Bogor menjadi faktor utama tingginya angka kemiskinan.
Banyaknya penduduk menyebabkan persaingan dalam memperoleh pekerjaan semakin
kuat, sementara lapangan kerja terbatas. Penduduk yang kalah dalam persaingan
akan menganggur atau bekerja dengan pendapatan yang rendah, sehingga keduanya
akan berdampak pada bertambahnya kemiskinan. Selain itu, penduduk di Kabupaten Bogor memiliki angka beban ketergantungan yang masih tinggi yaitu 53,75. Tingginya angka beban tanggungan akan mengurangi pendapatan
per kapita yang diterima oleh setiap penduduk, sehingga berakibat pada
tingginya angka kemiskinan.
Secara
tradisional, pertumbuhan penduduk akan menyebabkan kenaikan tenaga kerja dan
akan memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini berarti:
(1) semakin banyak jumlah angkatan kerja berarti semakin banyak pasokan tenaga
kerja dan akan meningkatkan jumlah output,
dan (2) semakin banyak jumlah penduduk akan meningkatkan potensi pasar domestik
(Arsyad, 2010). Teori pertumbuhan ekonomi klasik yang dikemukakan oleh Adam
Smith (Dornbusch et.al, 2008) menyatakan bahwa salah satu faktor yang
menentukan pertumbuhan ekonomi adalah perkembangan penduduk. Penduduk yang
bertambah akan memperluas pasar dan perluasan pasar akan meningkatkan
spesialisasi dalam perekonomian. Selanjutnya spesialisasi akan meningkatkan
produktivitas tenaga kerja sehingga meningkatkan upah dan keuntungan. Dengan
demikian, proses pertumbuhan akan berlangsung sampai seluruh sumberdaya
termanfaatkan.
Teori
pertumbuhan neoklasik yang dikenal dengan model pertumbuhan Solow menyatakan
bahwa pertumbuhan ekonomi terjadi karena dipengaruhi secara positif oleh
peningkatan modal (melalui tabungan dan investasi) dan peningkatan kuantitas
dan kualitas tenaga kerja (pertumbuhan jumlah penduduk dan perbaikan
pendidikan) dan peningkatan teknologi, dengan asumsi:
1.
Diminishing return to scale bila input
tenaga kerja dan modal digunakan secara parsial dan constant return to scale
bila digunakan secara bersama-sama.
2.
Perekonomian berada pada keseimbangan jangka panjang (full
employment).
Pertumbuhan Ekonomi
Hasil
estimasi menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di wilayah Kabupaten Bogor
secara nyata menurunkan persentase penduduk miskin. Elastisitas kemiskinan
terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Bogor sebesar -1,29, yang berarti
setiap peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen, maka persentase
penduduk miskin akan berkurang sebesar 1,29 persen (ceteris
paribus). Kondisi ini dapat dipahami, mengingat
pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan meningkatkan kapasitas perekonomian dan
meningkatkan pendapatan per kapita.
Pendapatan per
kapita yang meningkat, berarti
penduduk miskin akan berkurang. Jadi, jelaslah
bahwa pertumbuhan ekonomi baik untuk pengentasan kemiskinan.
Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Bogor didominasi oleh sektor industri dengan kontribusi terhadap PDRB sebesar 59,40 persen.
Pertumbuhan sektor industri di Kabupaten Bogor selama periode 2000-2009 cukup
berfluktuatif. Sektor lainnya yang cukup signifikan
mendongkrak pertumbuhan ekonomi adalah sektor pertanian, sektor pertambangan
& penggalian, sektor bangunan, dan sektor perdagangan, hotel dan restoran.
Sektor-sektor tersebut sangat berperan dalam mengurangi jumlah penduduk
miskin, karena sektor-sektor tersebut sangat mudah dimasuki oleh penduduk yang
tergolong memiliki kemampuan dan pendidikan yang tergolong rendah.
Hal lainnya adalah sektor-sektor tersebut tidak terlalu memerlukan keahlian
yang khusus dan umumnya sektor-sektor tersebut tidak terlalu memerlukan high technology. Walaupun sektor
industri dan pertambangan & penggalian tergolong sektor yang bisa
menurunkan kemiskinan, tetapi industri dan pertambanggan & penggalian yang
dimaksud yang low technoloy.
Rata-Rata
Lama Sekolah
Variabel
ketiga yang mempengaruhi kemiskinan adalah rata-rata lama sekolah. Hasil
estimasi menunjukkan bahwa rata-rata lama sekolah signifikan dapat mereduksi
jumlah penduduk miskin di wilayah Kabupaten Bogor dan sekitarnya. Pendidikan
menyangkut pembangunan karakter dan sekaligus mempertahankan jati diri manusia
suatu bangsa. Frankel (1997) menyatakan bahwa pendidikan khususnya peningkatan
jumlah tahun belajar merupakan suatu syarat untuk tahap dari pembangunan
ekonomi. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka kualitas sumberdaya manusia
juga akan semakin baik dan akan memengaruhi produktifitas. Ketika produktifitas
meningkat maka penghasilan atau upah yang didapat juga akan meningkat sehingga
akan membantu masyarakat keluar dari jerat kemiskinan.
Di
Kabupaten Bogor, elastisitas kemiskinan terhadap rata-rata lama sekolah sebesar
-2,42, yang berarti peningkatan rata-rata lama sekolah pekerja 1 persen akan
menurunkan kemiskinan sebesar 2,42 persen (ceteris paribus). Temuan ini sejalan dengan teori human capital yang
menyatakan bahwa pendidikan dapat memperbaiki produktivitas tenaga kerja,
meningkatkan daya saing dan pertumbuhan ekonomi serta memperbaiki income.
Pendidikan dapat berperan dalam pengentasan kemiskinan tergantung pada tingkat
pembangunan suatu negara/wilayah, aspek ekonomi, sosial dan politik yang
mempengaruhi upah dan permintaan tenaga kerja (Gundlach et al, 2001).
Rata-rata lama sekolah di Kabupaten Bogor adalah sebesar 7,98 tahun. Nilai
ini masih di bawah rata-rata lama sekolah Jawa Barat yang mencapai 8,02. Oleh
sebab itu, peningkatan rata-rata lama sekolah di Kabupaten Bogor mutlak
diperlukan guna penurunan angka kemiskinan.
Model pertama dalam analisis data panel dapat menjelaskan bahwa pertumbuhan
ekonomi dapat menurunkan kemiskinan. Namun, pertumbuhan ekonomi sektor mana
sajakah yang dapat berperan dalam penurunan kemiskinan belum terjawab. Oleh
sebab itu dalam model kedua akan dianalisis sektor-sektor mana sajakah yang
dapat menurunkan kemiskinan.
Kesimpulan
- Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan adalah pertumbuhan penduduk, pendidikan/rata-rata lama sekolah dan laju pertumbuhan ekonomi.
Implikasi Kebijakan
- Menggalakkan kembali program pengendalian laju pertumbuhan penduduk, mengingat pengaruhnya yang positif terhadap peningkatan persentase penduduk miskin.
- Meningkatkan rata-rata lama sekolah di Kabupaten Bogor melalui capaian program wajib belajar sembilan tahun. Bukti empiris menunjukkan semakin lama rata-rata lama sekolah maka persentase penduduk miskin akan semakin berkurang.
- Meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan laju pertumbuhan sektor kunci di Kabupaten Bogor.
Andersson, Engvall and Kokko.
2005. Determinants of Poverty in Lao PDR. Stockholm School of Asian Studies.
Stockholm School of Economics.
Dornbusch R, Fischer
S, Startz R. 2004. Macroeconomics 8th
Edition. New York: McGraw-Hill.
Jhingan, M.L. 2003. Ekonomi
Pembangunan dan Perencanaan. Penerjemah: D. Guritno. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Jhingan,
M.L. 2008. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Gujarati
DN. 2004. Basic Econometrics 4th Edition. New York: McGraw Hill.
Granger, C. W. J. (1969). Investigating causal relations by econometric
models and cross-spectral methods. Econometrica, 37, 424–438.
Gundlach, E.; de Pablo, J.N.;
Weisert, N. 2001. Education is good for the poor. World Institute for
Development Economics Research, Discussion Paper . 2001/137.
Lucas, R.E.B. 1997. Handbook
of Family and Economics Internal Migration in Developing Countries, ed. M.
R. Rosenzweig and Stark. Boston. Elseviere-Science Press, 721-78.
Kakwani, N. S. Khandker and
H.H. Son. 2004. Pro-Poor Growth: Concepts and Measurement with Country Case Studies. United Nations Development Programme
International Poverty Centre. Vol 1. Brasil.
NAPS. 1999. Unemployment and
Poverty. Poverty Briefing No 7 Unemployment and Poverty. Poverty Agency.
Rahman, R.I. 2006. Access to
Education and Employment: Implications for Poverty. PRCPB Working Paper No.
14. Bangladesh Institute of Development Studies (BIDS). Dhaka, Bangladesh
Siregar, H dan D. Wahyuniarti.
2007. Dampak Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin. MB-IPB. Bogor.
Suparno. 2010. Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Pengurangan
Kemiskinan: Studi Pro Por Growth Policy di Indonesia. IE-IPB. Bogor
Tambunan, T. 2003. Perkembangan
Sektor Pertanian di Indonesia. Beberapa Isu Penting. Jakarta. Penerbit:
Ghalia Indonesia.
Tambunan, T. 2006. Perekonomian Indonesia sejak Orde
Lama hingga Pasca Krisis. Pustaka Quantum. Jakarta.
Todaro, M. P and S. C. Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi. Jilid 1. Edisi 9.
Alih Bahasa. Penerbit Erlangga. Jakarta.
World Bank. 2004a. Mewujudkan
Pelayanan Umum bagi Masyarakat Miskin. The World Bank, Jakarta.
World Bank. 2004b. Meningkatkan
Pelayanan Umum bagi Rakyat Miskin. Konferensi Nasional Penanggulangan
Kemiskinan dan Pencapaian Tujuan Millenium. The World Bank, Jakarta.
World Bank. 2005. Era Baru dalam Pengentasan Kemiskinan di
Indonesia (ikhtisar). The World Bank Office Jakarta. Jakarta.
World Bank. 2007. World
Development Indicators. World Bank, Washington.
Yudhoyono, S.B. dan Harniati. 2004. Pengurangan Kemiskinan di Indonesia
: Mengapa Tidak Cukup dengan Memacu Pertumbuhan Ekonomi ? Brighten Press,
Bogor.
Tidak ada komentar: