Potret pedagang asongan, PKL, Tukang ojek dll sebagai Pekerja Informal


oleh : Luqman


Keponakan saya yang tahun lalu lulus dari pendidikan program satu tahun bidang perhotelan sekarang bersama-sama ibunya mengelola kantin di sebuah instasi pemerintah. Pekerjaan ini merupakan pilihan yang bersifat sementara sambil tetap berusaha melamar kerja.

Keponakan saya yang lain juga akhirnya bekerja apa adanya. Dia memilih membuka lapak pembuatan kunci ganda. Ijasah SMK jurusan bangunan belum mampu menembus perusahaan-perusahaan yang dia impikan. Modal untuk usaha dia dapatkan dari salah satu tetangganya. Lokasi tempat dia kerja hanyalah dengan memanfaatkan sebagian kecil dari trotoar depan sebuat toko milik warga keturunan.

Usaha ini telah dijalaninya hampir 3 tahun lamanya. Dia bekerja mulai pagi sekitar jam 8 pagi sampai sore jelang waktu ashar tiba. Malam hari lapak tempat dia bekerja digunakan penjual nasi goreng yang jualan sampai tengah malam.

Keponakan saya tersebut dan para pedagang lainnya baik siang maupun malam dalam terminologi ekonomi sering disebut sebagai pekerja informal.  Pekerja informal ini meliputi cakupan yang luas mulai dari pedagang kaki lima, pedagang asongan, tukang beca, tukang ojek, tukang sayur keliling, montir panggilan atau yang pinggir jalan, warung/kios kecil, calo/perantara dan lain sebagainya.

Secara umum pekerja informal ini dicirikan oleh skala usaha yang kecil karena modal yang sangat terbatas, keterampilan pengelola/tenaga kerjanya yag terbatas sehingga produktivitasnya rendah,  tidak memiliki pencacatan keuangan, umumnya dibantu tenaga kerja keluarga (tak dibayar), dan tidak memiliki akses pada lembaga keuangan formal seperti bank.

Fakta menunjukan bahwa pekerja informal ini masih relatif besar bahkan lebih besar di bandingkan dengan pekerja formal. Di Jawa Barat saja berdasarkan hasil Survei Tenaga Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2012 menunjukan bahwa 54,7 persen tenaga kerja sebagai pekerja informal.

Persentase pekerja informal tahun 2012 ini relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada periode tahun 2006-2010, persentase pekerja informal antara 62 – 65 persen. Pada tahun 2011 turun menjadi 56,55 persen.

Pada Sakernas, untuk mengidentifikasi mana kegiatan formal atau informal dari penduduk yang bekerja didasarkan atas status pekerjaannya. Pekerja formal mencakup kategori berusaha dengan dibantu buruh tetap dan buruh/karyawan. Sedangkan pekerja informal mencakup status pekerjaan : Berusaha sendiri, Berusaha dibantu buruh tidak tetap, Pekerja bebas di Pertanian, Pekerja bebas Non Pertanian, dan Pekerja Keluarga

Faisal Basri menyebut sektor informal ini sebagai sektor darurat. Sebutan ini merujuk pada kenyataan bahwa umumnya sektor ini dipilih karena tidak ada pilihan lain yang bisa menampung mereka. Yang namanya darurat tetu saja hanya sebersifat sementara. Kalo terus menerus darurat maka ini merupakan preseden yang kurang baik. Dengan kata lain menurut Faisal Fasri ; semakin kecil sektor informal dan semakin besar sektor formalnya, maka semakin baik perekonomian sebuah wilayah.

Untuk itulah sektor informal perlu mendapat perhatian lebih untu ditata, dibina dan dibenahi serta didorong agar lebih baik. Ada beberapa alasan mengapa sektor informal ini perlu dibenahi. Ini dalam upaya menciptakan perekonomian Jawa Barat yang lebih elok, tidak terus berkutat dalam situasi darurat :

Pertama, pendapatan para pekerja informal ini relatif rendah dan tidak menentu. Ini berkaitan dengan omset usahanya yang yang terbatas. Keterbatasan omset ini terutama disebabkan oleh modal yang kecil. Selain itu juga disebabkan oleh keterampilan para pekerja informal yang juga terbatas. 
Pendapatan yang relatif rendah dan tidak menentu ini semakin membuat mereka hidup prihatin karena terkikis oleh kenaikan harga-harga kebutuhan pokok akhir-akhir ini. Ini berpotensi meningkatkan tingkat kemiskinan terutama di daerah perkotaan.

Kedua, Para pekerja informal ini  tidak memiliki jaminan sosial sedikit pun. Jaminan sosial berkaitan dengan keselamatan kerja, kesehatan dan perlindungan hari tua nanti. Tentu bisa kebayang saat masa produktif mereka habis atau kondisi kesehatan merea terganggu. Siapa yang peduli dengan kondisi mereka.


Ketiga, Kesempatan untuk mengembangkan usaha/keterampilan sangat terbatas. Tidak sedikit para pekerja informal ini bekerja secara turun temurun tanpa ada perubahan yang berarti. Ini bisa kita maklumi karena untuk menjalani usaha di sektor informal ini biasanya tidak memerlukan keterampilan atau skill yang tinggi.(aluq)



http://ekonomi.kompasiana.com/wirausaha/2013/01/14/potret-pedagang-asongan-pkl-tukang-ojek-dll-sebagai-pekerja-informal-525096.html

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.